Maheswara Family – 1

maheswara-family

Seperti minggu-minggu sebelumnya, hari ini Nia Jovita Kim kembali dibanjiri beribu pujian dari para Ibu-Ibu yang hadir di Pengajian—yang rutin diadakan setiap satu minggu sekali di Mesjid Komplek Cempaka. Para tetangganya itu, seolah tak pernah bosan melontarkan pujian demi pujian untuknya. Bahkan keluarganya itu di berikan julukan ‘Keluarga Cemara’ oleh sebagian tetangganya, padahal jelas-jelas nama ‘Maheswara Family’ terpasang tepat di depan pintu rumahnya, tetapi, orang-orang tetap saja menjulukinya dengan sebutan itu.

Sebenarnya, bukan tanpa sebab, para tetangganya itu terus memujinya. Bagaimana tidak? Nia Jovita Kim adalah isteri dari Raihan Faza Maheswara, salah satu pria terkaya di Indonesia. Orang-orang menyebutnya sangat beruntung, karena dapat menikah dengan pria kaya dan setampan Raihan, padahal dulu mereka menikah karena di jodohkan oleh kedua orang tua mereka. Walaupun tak di pungkiri, keduanya sama-sama tertarik satu sama lain. Selain itu, Nia juga dianggap beruntung karena memiliki 5 anak yang tampan dan cantik, serta sukses. Darah blasteran yang dimiliki Raihan dan Nia memang berhasil menciptakan ke-4 anak lelaki yang luar biasa tampan serta 1 anak gadis yang juga sangat cantik.

Raihan yang berdarah campuran Indonesia-Amerika serta Nia yang berdarah campuran Indonesia-Korea, membuat anak-anaknya memiliki wajah khas, perpaduan Asia dan Barat.

Aditya Pratama Maheswara, merupakan anak pertama dari Nia dan Raihan. Dia merupakan penerus utama di keluarga Maheswara untuk melanjutkan Bisnis Hotel yang di geluti sang Ayah. Lalu, Badar Dwi Maheswara, anak kedua mereka, adalah seorang Vocalis dari salah satu Band terkenal di Indonesia, Band Hard, dia juga memiliki sebuah Cafe yang seringkali muncul di acara-acara kuliner di TV. Selanjutnya, ada Calista Aghnia Maheswara dan Daffa Gibran Maheswara—yang merupakan anak kembar. Calista adalah seorang WO, sementara Daffa adalah Dokter Bedah di RS Harapan—rumah sakit bertaraf Internasional yang ada di Jakarta. Kemudian, ada si bungsu Elnino Shareef Maheswara yang baru saja lulus kuliah dan sedang magang di salah satu kantor cabang Hotel Maheswara, milik Keluarganya. Oh, dan jangan lupakan dengan cucu satu-satunya di keluarga itu, Farrel Maheswara yang baru saja berusia 8 tahun. Dia adalah anak Calista.

“Enak ya, jadi Bu Nia, punya suami ganteng, anak-anaknya pada jadi orang sukses lagi!” seru Bu Rita, salah satu tetangganya yang paling ‘nyinyir’ menyangkut kehidupannya.

Nia tersenyum setengah hati. “Ah, Bu Rita bisa saja! Oh iya, gimana sama usaha Restoran barunya? Sukses?” ia mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

“Sukses dong!” senyum Bu Rita mengembang. “Ini kan berkat bantuan Bu Nia juga, karena sudah berhasil membujuk nak Badar buat tampil di Restoran saya waktu Opening!”

“Iya tuh, Bu! Gara-gara ada nak Badar, anak gadis saya sampai bolos sekolah, biar bisa ikut datang ke Opening Restoran Bu Rika, biar bisa lihat Band-nya tampil,” timpal Bu Jenny.

“Ya maklumlah, nak Badar kan ganteng, anak gadis mana coba yang nggak suka dia?” kini giliran Bu Dian yang berkomentar.

“Ah, kalian bisa saja,” Nia tersenyum kecil.

“Omong-omong, Bu. Nak Badar sudah punya calon, belum? Kalau belum sih, jodohin saja sama anak gadis saya,” Bu Rita cekikikan, walau dalam hati, berharap jika ajakannya itu di sambut dengan tangan terbuka oleh Nia.

Sayangnya, Nia tidak tertarik.

Wanita paruh baya itu, menggeleng pelan. “Saya kurang tahu, Bu. Yaa… biasalah, namanya juga anak muda, saya sih, biar Badar aja yang cari calonnya sendiri. Nanti juga, kalau sudah ada yang cocok, pasti dibawa ke rumah.”

Bu Rita diam-diam mendesah kecewa, sementara para Ibu-Ibu yang lain, berkomat-kamit dalam hatinya, mendoakan jika salah satu dari anak Keluarga Maheswara itu, ada yang tertarik pada anak mereka masing-masing.

“Kalau begitu, saya permisi duluan yah, Ibu-Ibu, mari…” dia mengangguk lalu berjalan ke depan gerbang rumahnya yang super luas nan megah itu.

Salah satu satpam yang berjaga di pos depan dekat gerbang rumahnya bergegas membuka-kan gerbang, ia mengangguk saat Nia tersenyum padanya dan sekumpulan Ibu-Ibu itu tak henti-hentinya berdecak kagum padanya.

Nia memang dikenal sebagai pribadi yang ramah dan tidak sombong. Dia selalu ikut dalam pengajian, aktif di perkumpulan Ibu-Ibu dan selalu mengikuti acara arisan yang diadakan Ibu-Ibu di Komplek Cempaka. Perumahan di Komplek Cempaka memang bukan termasuk kawasan Elit, tetapi warganya selalu aktif melakukan banyak kegiatan, termasuk aktivitas sosial. Kediaman Keluarga Maheswara menjadi satu-satunya rumah terbesar dan terluas di Komplek Cempaka, dan para keluarganya pun terkenal karena keramahannya. Tak pernah sekalipun keluarga Maheswara bersikap sombong pada para tetangganya karena mereka berasal dari keluarga terpandang, dan hal itulah yang membuat para tetangganya selalu memuji keluarga Nia dan bahkan menjuluki keluarganya sebagai ‘Keluarga Cemara’.

Sayangnya, mereka tidak pernah mengetahui keresahan yang di alami Nia sebagai Ibu dari anak-anaknya itu. Wanita paruh baya yang masih tampak cantik dengan wajahnya yang baby face itu, sebenarnya selalu mencemaskan keadaan anak-anaknya yang sampai saat ini, belum juga ada yang menikah!

Padahal usianya sudah menginjak 52 tahun!

Siapa bilang hidupnya beruntung?! Keberuntungannya itu takkan pernah lengkap, tanpa kehadiran menantu di rumahnya!

Hidupnya takkan pernah tenang, sebelum anak-anaknya membawa pasangan mereka ke rumahnya!

“Nenek ko lama banget sih ngajinya!” Farrel cucu satu-satunya itu, berlari menghampirinya, begitu mengetahui Nia telah tiba di rumah.

“Eh, cucu nenek!” Nia langsung memeluknya erat. “Kenapa emangnya? Pasti pingin nenek suapin lagi yah?”

Farrel mengangguk dan menyengir lebar.

“Huhh, masa sudah SD masih pingin disuapin neneknya! Anak manja!” ujar Nia sembari mencubit hidung mancungnya dengan gemas.

Farrel tertawa tanpa mempedulikan omelan neneknya. Dia memang sangat dekat dengan sang Nenek yang sudah mengurusnya sejak kecil, dan Farrel memang lebih suka disuapi neneknya itu, daripada oleh para pelayan yang ada di rumahnya.

“Mamih kamu belum pulang?” Nia celingukan mencari sosok Calista—Ibu Farrel.

Farrel menggeleng, “Mamih balik lagi ke kantor tadi. Katanya ada proposal penting yang ketinggalan gitu.”

“Oh.. ya sudah, ayo nenek suapin kamu! Nanti kamu sakit lagi kalau telat makan!”

“Yeay!” Farrel meloncat kegirangan dan mengikuti neneknya ke ruang makan lalu ia duduk di salah satu kursi meja makan.

Nia duduk di sampingnya sambil membawa sepiring nasi dengan sayur sop kesukaannya. Kemudian, ia menyuapi cucunya itu di selingi obrolan tentang kegiatan Farrel di sekolah.

Setidaknya, rasa kesepian Nia selalu terobati dengan keceriaan Farrel yang tidak pernah ada habisnya. Dia bersyukur dengan kehadiran cucunya itu, meskipun terkadang dia merasa sedih, karena mengingat keadaan Farrel yang tidak memiliki Ayah.

Ya, 9 tahun yang lalu, Calista melakukan satu kesalahan fatal, hingga membuat gadis cantik itu hamil diluar nikah. Nia dan Raihan tentunya kecewa, tetapi semua perasaan kecewanya seakan meluluh saat melihat bayi merah bertubuh gemuk itu. Mereka juga merasa bangga dengan keputusan yang diambil Calista saat itu.

Anak gadisnya yang manja itu, berani mempertanggung jawabkan perbuatannya dengan tidak menggugurkan bayinya. Calista justru memilih untuk melahirkan dan membesarkan Farrel, bahkan tanpa seorang suami.

“Loh, udah gede, masih di suapin nenek! Malu dong!” Raihan, suaminya, berjalan masuk ke ruang makan dan mengacak-acak rambut Farrel dengan gemas.

“Ihh.. akung! Aku kan lagi makan!” gerutu Farrel kesal sambil mendorong tangan Raihan agar menjauh dari kepalanya. ‘Akung’ adalah sebutan Kakek dari Farrel untuknya.

Raihan tertawa kemudian beralih mengecup puncak kepala Nia, isteri tercintanya.

“Mau makan juga, Pih?” tanya Nia pada suaminya yang sudah duduk di samping Farrel.

“Bolehlah. Lihat Farrel makan, jadi ikutan lapar.”

Nia baru beranjak dari tempat duduknya untuk mengambilkan makanan untuk suaminya, tetapi di saat yang bersamaan, si bungsu Elnino datang ke ruang makan.

“Sore, Bunda,” sapa Elnino sambil meletakkan tasnya di kursi lalu menghampirinya dan mencium sekilas pipinya. “Sore, Pih,” ujarnya saat duduk di depan Raihan.

“Mau ikut makan juga, El?” tawar Nia.

“Nggak deh, Bun. Tadi udah sempet makan sama anak-anak magang yang lain,” jawabnya.

Nia mengangguk dan kembali berjalan ke dapur.

“Gimana hari ini? Seru?” tanya Raihan pada anak bungsunya itu.

“Boro-boro! Yang ada seharian ini pekerjaan El jadi kacau gara-gara si cewek rese Odiva itu tuh!” rutuk Elnino, ia kembali kesal karena mengingat seorang gadis ‘pengacau’ yang tidak pernah berhenti untuk mencari masalah dengannya. “Kenapa nggak Papih pindahin aja sih dia ke kantor cabang Papih yang lain? Bete tau, ketemu terus sama tuh cewek rese!”

“Ya, nggak bisa seenaknya gitu dong, El. Lagian masa kamu cowok kalah sih sama cewek, lawan dong!” sahut Raihan.

“Tapi cewek itu tuh super duper rese banget, Pih!”

“Ya, namanya dunia kerja, yah seperti itu, El. Kamu masa baru ketemu yang begitu aja udah nyerah sih..”

“Bukan nyerah, Pih. Cuman bete!” jawabnya mengeles. “Papih beneran nggak bisa pindahin dia ke kantor cabang lain gitu?” Elnino mulai merajuk sekarang.

Raihan menggeleng pelan. “Urusan yang begituan bukan bagian Papih, coba kamu tanyain aja sama Adit.”

“Idih, ogah deh nanya sama Mas Adit! Males!” gerutu Elnino. Percuma saja dia mengadu pada Kakak pertamanya itu, paling ujung-ujungnya Mas Adit malah balik nyeramahin dia.

“Hati-hati loh, Oom, sekarang aja benci! Eeh.. nanti malah balik suka!” sindir Farrel dengan wajah ‘sok tahu-nya’ itu.

“Heh! Anak kecil tahu apa sih?! Belajar ngitung aja masih pake jari!” Elnino menatap kesal pada keponakannya itu.

“Yey.. ngitung mah nggak pake jari, Oom, tapi pake otak!” timpal Farrel yang langsung saja membuat Raihan tertawa terbahak-bahak, sementara Elnino semakin terlihat dongkol.

“Tau ah!” Elnino meraih tasnya dan berjalan pergi meninggalkan ruang makan.

Sementara Raihan tak henti-hentinya tertawa. Elnino dan Farrel memang seperti sepasang kucing dan anjing yang tak pernah berhenti bertengkar hanya karena masalah kecil. Padahal jelas-jelas usia mereka terpaut sangat jauh, 17 tahun.

“Anak kamu tuh, manja! Baru segitu aja, udah kesel,” cibir Raihan saat Nia kembali datang dengan sepiring nasi lengkap dengan lauk pauknya.

“Emangnya Papih nggak ikutan buat?!” Nia mendengus kesal pada suaminya dan Raihan hanya terkekeh geli, sebelum akhirnya menyantap makanannya dengan bersemangat.

*****

Malam harinya, setelah menidurkan Farrel, Nia menghampiri Raihan yang sedang duduk santai di ruang tengah sambil menikmati acara berita di TV.

“Adit sudah pulang, Pih?” tanya Nia kemudian.

“Dia nggak akan pulang malam ini, katanya mau lembur.”

“Huh, kalau lembur mulu, kapan dia dapat jodohnya?!” keluh Nia seraya menyandarkan kepalanya diatas pundak Raihan.

Raihan terkekeh sambil mengusap lembut puncak kepalanya. “Yang namanya jodoh itu kan bisa datang kapan aja, sayang… sabar aja, nanti juga ada waktunya Adit nemuin jodohnya.”

“Iya, tapi kapan dong, Pih? Usia kita kan sudah tidak muda lagi! Aku kan udah nggak sabar pingin nimang cucu! Lagian, Adit itu udah 34 tahun, sudah cukup umur untuk menikah!”

“Ya, mungkin belum nemu pasangan yang cocok kali.”

“Ah, itu sih cuman alasan Adit saja!” sahut Nia kesal. “Emangnya, Papih nggak tahu apa, kalau ada gosip jelek tentang Adit yang sudah menyebar di seluruh kantor?”

“Gosip apaan?” tanya Raihan bingung.

“Itu loh, Pih! Masa Adit dikatain Gay sih?!”

“Hah?!” tawa Raihan langsung meledak saat mendengar jawaban Nia.

“Ihh, Papih! Bunda lagi ngomong serius ko malah diketawain sih!” gerutu Nia.

“Ya, habis… omongan kamu tuh, lucu banget! Masa anak sendiri dikatain Gay?! Denger dari siapa sih?”

“Ya, ada deh! Pokoknya dari mata-mata Bunda yang ada di kantor Adit!”

“Ah.. palingan juga mata-mata Bunda, kalau nggak mang Dadang yah.. mang Soleh,” ujar Raihan, menyebut kedua OB-nya yang sudah sangat dekat dengan isterinya itu. “Udahlah, Bun.. nggak usah terlalu dipikirin. Kita kan tahu sendiri Adit gimana orangnya.”

“Tapi, Pih, Bunda kan pingin cepet-cepet nimang cucu!” Nia mulai merajuk dengan ekspresi memelasnya.

“Iya, Papih ngerti. Tapi sabar yah, Bun.. pasti ada waktunya ko, rumah ini bakalan ramai di penuhin cucu-cucu kita,” senyum Raihan menenangkan.

*****

“Pagi, Bunda sayang!” satu kecupan lembut langsung mendarat di kening Nia saat Badar, anak keduanya, masuk ke ruang makan, menyapa Nia yang sedang menyiapkan sarapan dibantu para pelayannya.

“Ya ampun, Badar! Kapan kamu pulang, sayang?” Nia menjerit kegirangan dan langsung memeluk anaknya yang baru saja kembali dari perjalanan Tour Band-nya selama 2 bulan.

“Tadi pagi, Bun,” senyum Badar seraya duduk.

“Loh, ko nggak bangunin Bunda sih? Aduuh.. Bunda kangen banget sama kamu tau!” seru Nia sambil mencubit gemas kedua pipi Badar.

“Aduh, aduh, sakit dong, Bun! Dikata nih pipi bapau, bisa dicubitin?!” Badar melepaskan tangan Nia dari kedua pipinya yang memerah.

“Habis, Bunda kangen sih sama kamu!” Nia menyengir lebar dan mengabaikan gerutuan anaknya itu.

“Ada apaan sih, ribut-ribut?” Calista datang bersama Farrel yang sudah memakai seragam.

“Oom Badar!” Farrel langsung berteriak dan berlari ke arahnya, begitu mengetahui Oom kesayangannya itu sudah pulang.

“Hey, jagoan!” Badar memeluk Farrel dengan penuh kasih sayang.

Calista yang sudah duduk di depannya bertanya, “Kapan pulangnya, Mas?”

“Tadi pagi,” jawab Badar seraya melepaskan pelukannya pada Farrel dan membiarkan anak itu duduk disampingnya.

“Duuh, giliran Oom Badar pulang aja, Mamih dicuekin!” keluh Calista pada anaknya.

“He he he he, biarin! Abis bosan sih kalau sama Mamih terus!” Farrel tersenyum polos dan beralih menatap Badar. “Oom, hari ini antar aku ke sekolah yah?”

“Farrel, Oom Badar kan baru pulang, sayang. Kasian masih capek..” ujar Nia mengingatkan.

“Yaah…” Farrel memberenggut kecewa.

Badar yang melihatnya jadi tidak tega. Dari dulu, dia memang tidak pernah bisa menolak  permintaan keponakannya ini, apalagi kalau sudah memberenggut kecewa seperti itu.

“Ya udah deh, Oom anterin,” jawab Badar kemudian.

“Beneran, Oom?!” kedua mata Farrel berbinar bahagia dan Badar mengangguk singkat.

“Nggak capek, Mas?” tanya Calista memastikan.

“Capek sih, tapi kan cuman nganter ini lah… gampang,” jawab Badar seraya mengoleskan selai kacang pada rotinya.

“Pagi semua,” Raihan menyusul dan ikut berkumpul bersama anak, isteri dan cucunya itu.

Lalu mereka mulai menyantap sarapan pagi bersama-sama.

Di tengah-tengah acara sarapan pagi mereka yang ramai di penuhi oleh celotehan Farrel dan cerita Badan tentang Tour Band-nya, seorang gadis cantik tiba-tiba datang menginterupsi.

“Halo semuanya…” sapa gadis cantik itu bersemangat.

Serentak, merekapun menoleh padanya.

“Eh, Kinan… ayo, ikut sarapan bareng!” ajak Raihan begitu melihat gadis cantik bernama Kinan itu.

“Nggak deh, Oom. Makasih. Tadi udah sarapan di rumah,” gadis itu tersenyum lebar.

“Pasti mau ketemu Daffa yah?” tanya Nia kemudian.

“He he he, iya, tante.. ada kan?”

“Ada. Masih tidur dikamarnya tuh. Biasa, habis lembur jaga di rumah sakit,” jelas Nia.

“Ehm.. kalau gitu aku langsung ke kamarnya aja, yah, tante.”

“Rajin banget sih, Nan! Udah cocok tuh kalau kamu jadi isterinya Daffa!” canda Badar yang langsung membuat kedua pipi Kinan bersemu merah karena malu.

“Ihh.. Mas Badar apaan sih?!” ia berbalik dan bergegas pergi menuju kamar Daffa.

“Kamu tuh, kasian anak orang, jadi malu tuh!” ujar Nia, menyenggol pelan lengan Badar.

Badar tertawa, “Habis.. lucu sih mereka! Kayak pasangan pengantin muda gitu!”

“Hush! Kamu itu! Kalau ngomong suka seenaknya aja deh!” Nia memelototi anaknya.

“Loh, emangnya kenapa, Bun? Kinan sama Daffa cocok ko,” kini giliran Calista yang mulai berkomentar.

“Ya nggak kenapa-kenapa. Tapi Bunda kasian aja sama Kinan kalau dapetin suami kayak Daffa. Ya, kalian tahu sendiri kan, gimana nyebelinnya si Daffa!”

Dan semuanya mendadak langsung tertawa saat mendengar jawaban Nia.

Ya, inilah kegiatan yang selalu terjadi di keluarga Maheswara. Mengobrol di tengah-tengah acara sarapan pagi ataupun makan malam, untuk sekedar bertukar cerita, sudah terbiasa terjadi di kediaman keluarga Maheswara.

Suasana ini, jelas berbeda jauh dengan gambaran yang dipikirkan orang-orang selama ini. Karena yang mereka tahu, keluarga kaya itu harus tampak anggun, tidak pernah mengobrol saat sedang makan dan tidak pernah tertawa sekeras itu.

Tetapi, tidak ada peraturan seperti itu di keluarga Maheswara.

Mereka justru sangat menikmati suasana hangat yang selalu tercipta di keluarga ini.

rumah-keluarga-maheswara-1

*****

Halooooooo… apa kabar kalian semuanya? Semoga baik-baik saja, yah… Amiin ^^ Nah, Keluarga Maheswara ini iseng-iseng tercipta disela-sela waktu bosan aku saat mencari mood buat lanjutin cerita Fall In Love… jadilah, tercipta cerita tentang keluarga ini… hihihihi semoga kalian pada suka yaah… #XOXO

Insya Allah, lanjutan Fall In Love aku update antara hari Jumat atau Sabtu ya… Okee, see yoouuuu ^^

5 pemikiran pada “Maheswara Family – 1

Tinggalkan komentar